Skip to main content

Akar Sejarah Perpecahan dalam Islam: Studi Kasus Sunni dan Syiah

golongan khawarij mudah mengkafirkan golongan lain termasuk sayidina ali


Latar Belakang Perang Shiffin

Sejarah Aliran Perpecahan Dalam Islam - "Seperempat" abad setelah kewafatan Rasululllah, terjadi peperangan antara sesama umat Islam.

Tepatnya pada "Dzulhijjah" 36 H. atau Juni 657 M, di kota Raqqah sebelah timur laut Suriah,

kubu Sayyidina "Mu'awiyah" melancarkan serangan ke kubu Sayyidin Ali.

Kejadian Tragis Pembunuhan Sayyidina Utsman

Perang ini yang kemudian di kenal dengan nama perang Shiffin (صفين)

yang dilatar belakangi oleh terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan yang saat itu masih menjabat sebagai Khalifah,

Munculnya Ketegangan antara Kubu Mu'awiyah dan Sayyidina Ali

kemudian naiklah "Sayyidina Ali" menggantikan kedudukan Khalifah, Adapun Mu'awiyyah saat itu menempati posisi sebagai Gubernur merupakan salah satu kerabat Utsman,

ia menginginkan pembunuh khalifah Utsman diadili dimuka hukum,

tapi sayang Muawwiyah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib tidak berniat melakukan hal ini sehingga muawwiyah pun memberontak pemerintahan Ali,

sebaliknya "Sayyidina Ali" berminat untuk melakukan pemberontakan Mu'awwiyah.

Usulan Tahkim dan Perundingan Pertama

Usulan Amr bin 'Ash

Dalam peperangan tersebut, kubu "Mu'awiyah" sudah hampir kalah.

Namun, dalam kondisi terdesak, Amr in 'Ash mengusulkan kepada "Mu'awiyah" agar para pasukan "Mu'awiyah" yang berada di garis paling depan mengikatkan mushaf al-Quran, yang kemudian terkenal dengan sebutan Tahkim.

Ragunya Sayyidina Ali

Mulanya "Sayyidina Ali" ragu dengan langkah yang ditempuh oleh kubu "Mu'awiyah" ini.

Maka segera "Sayyidina Ali" menghentikan perang dan mengirim utusan kepada "Mu'awiyah" untuk meminta penjelasan dengan rencana itu.

"Mu'awiyah" mengusulkan agar ditunjuk penengah atau wasit yang netral perwakilan dari kedua kubu untuk menyelesaikan masalah ini.

Dari pihak "Mu'awiyah" ditunjuklah Amr bin 'Ash. Sementara dari pihak "Sayyidina Ali" menampilkan Abdullah bin Qais, yang lebih dikenal dengan Abu Musa al-Asy'ari

Perundingan dan Persetujuan Tahkim

Perundingan dan Persetujuan Pertama

Pada tanggal 13 Shafar 37 H, dilakukan perundingan pertama yang menghasilkan persetujuan tertulis tentang bertahkim kepada al-Qur'an.

Dominasi Amr bin 'Ash

Lalu perundingan kedua dilaksanakan enam bulan berikutnya, yaitu pada Ramadhan 37 H atau Februari 658 bertempat di kota Azruh, sebelah timur Suriah.

Dalam perundingan ini, Amr bin Ash sangat mendominasi pembicaraan.

Sebagai seorang politikus yang piawai dalam berdiplomasi, Amr bin Ash mampu mendesain perundingan untuk memuluskan suksesi kepemimpinan Mua'wiyah.

Sementara Abu Musa, secara diplomasi tidak bisa menandingi Amr bin Ash, sehingga kekhalifahan "Sayyidina Ali" pun harus tergeser dan diganti oleh Mua'wiyah.

Sebenarnya "Sayyidina Ali" sudah membaca gelagat politis ini.

Namun, sebagaimana sudah maklum bahwa Ali adalah sosok yang wara' dan zahid.

Beliau tidak pernah terobsesi untuk mengejar kekayaan harta, jabatan dan kekuasaan.

Menantu Rasulullah ini lebih berat melihat nasib masa depan Islam dan kaum Muslimin.

Karena jika peperangan ini tidak segera disudahi maka korban dari sesam umat Islam akan terus berjatuhan sia-sia.

Sedangkan di pihak lain, ancaman serbuan dari kerajaan Romawi senantiasa mengintai umat Islam.

Imperium Romawi terus mencari jalan untuk bisa menyerang umat Islam, demi merebut kembali daerah-daerah jajahannya.

Maka pilihan untuk menyudahi peperangan dengan cara tahkim ini dinilai sebagai pilihan mendesak yang harus dilakukan.

Konsekuensi: Munculnya Kelompok Khawarij

Konsekwensi dari pelaksanaan Tahkim ini, para pengikut setia "Sayyidina Ali" kemudian terpecah menjadi dua golongan.
  1. Kelompok Syiah

    Yang pertama adalah kelompok yang sudah merasa jemu berperang. Segala bencana dan pertumpahan darah yang terjadi selama ini menyebabkan kelompok ini sangat membenci mu'awiyah dan orang Syam. Mereka kemudian menjadi penganut Syi'ah.


  2. Baca Juga: Perbedaan Ahlussunnah dan Syiah


  3. Kelompok Khawarij

    Kelompok kedua adalah mereka yang masih menyimpan bara dendam kepada Amr bin 'Ash dan "Mu'awiyah", dan sekaligus menyalahkan keputusan "Sayyidina Ali" yang telah menerima tawaran Tahkim, kelompok ini juga menyalahkan Ali karena memilih Abu Musa sebagai utusan dalam perundingan tersebut. Kelompok kedua ini kebanyakan dari penduduk pedalaman. Karena merasa kecewa kepada keputusan "Sayyidina Ali", mereka pun keluar (khorojuu) dari pasukan Imam Ali. Setelah itu mereka dikenal dengan sebutan "Khawarij".


Bentuk kemarahan sebagian pendukung Imam Ali yang selanjutnya bernama "Khawrij" ini memunculkan protes dengan keyakinan "laa hukma illa lillaah" tiada hukum selain (ketentuan) Allah"

Mereka menuduh bahwa pelaksanaan Tahkim yang disepakati oleh Imam Ali ini mengingkari ketentuan al-Qur'an.

Bahkan yang lebih ekstrim lagi, kelompok Khawarij ini secara lancang menuduh Imam Ali dan pengikutnya telah kafir.

Demikian juga dengan "Mu'awiyah" dan para pengikutnya, apalagi Amr bin Ash juga tidak luput dari tuduhan kafir kelompok ini.

Secara eksklusif, Khawarij berkeyankinan bahwa kebenaran hanyalah miliki kelompoknya.

Imam Ali dan pengikutnya, juga "Mu'awiyah" dan pengikutnya telah melakukan tindakan yang mengarah kepada kekafiran.

Maka kedua kubu, Ali dan "Mu'awiyah", layak untuk dibunuh atau diperangi.

Kedua kubu diluar Khawarij haruslah melakukan pertobatan dengan mengakui semua kesalahannya. Jika tidak, maka kelompok Khawarij akan terus menyerang mereka.

Teror Kepada Umat Islam

Khawarij dinilai sebagai partai atau golongan yang pertama lahir dalam Islam.

Semula mereka adalah pengikut Imam Ali yang disebut "qurro", atau "para ahli al-Qur'an" yang fanatik dan paling keras menentang persetujuan tahkim.

Mereka berkeyakinan bahwa hukum manusia tidak boleh melampaui hukum Allah.

Sebagai bentuk protes, mereka kemudian keluar dari Kufah menuju Harura', sebuah desa yang tidak jauh dari kota itu.

Pasukan Imam Ali yang memisahkan diri ini dipimpin oleh Abdullah bin Wahb ar-Rasibi, dan bergabung dengan pasukan yang lebih besar di Nahrawan

sehingga jumlah mereka yang semula 12.000 pasukan kemudian menjadi 16.000 pasukan.

Kebanyakan mereka terdiri dari penduduk badui di desa-desa pedalaman.

Para pembangkang ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di harura. Nahrawan, dan ke daerah-daerah pedalaman.

Tidak sedikit dari kalangan awam, badui pedalaman, dan mereka yang sama sekali tidak mendapat pendidikan ikut bergabung ke dalam Khawarij.

Ancaman Khawarij

Mereka menuduh kafir kepada pihak-pihak yang menerima tahkim.

Seringkali kelompok ini menempuh cara-cara kekerasan, teror dan pembunuhan kepada siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka.

Gangguan Terhadap Keberagamaan

Keberadaan kelompok Khawarij ini sangat mengganggu iklim keberagamaan umat Islam, bahkan juga mengganggu keamanan.

Mereka hendak merusak sendir-sendi agama dengan tindakan yang hanya bersandar pada kekerasan.

Penyimpangan Terhadap Ajaran Islam

Sikap mereka yang demikian berangkat dari pemahaman mereka tentang agama yang sangat dangkal dan sempit, sehingga mereka memahami al-qur'an secara keliru.

Eksistensi kelompok dengan karkater seperti Khawarij - ini akan terus ada sepanjang zaman, dimana-mana pada setiap generasi, seriap bangsa dan umat.

Mereka hanya mengklaim kebenaran kelompoknya sendiri.

Sementara orang lain yang tidak sehaluan dan tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir, sesat, dan boleh dibunuh.

Mereka hidup dpermukaan bumi ini tidak dengan akal yang sehat, akan tetapi berjalan dengan kesempitan berpikir.

Karakter keberagamaan kelompok Khawarij ini seperti telah disebutkan oleh Rasulullah,

"Mereka membaca al-Qur'an tidak sampai melampaui tulang selangka mereka"


Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki juga memberikan deskripsi sederhana tentang karakteristik kelompok ini.

Menurut Abuya, mereka adalah kelompok yang berpenampilan syar'i, tekun membaca al-Qur'an, rajin dalam beribadah, dan semangat dalam berjihad.

Akan tetapi karena al-Qur'an yang mereka baca tidak menyentuh kalbunya, maka mereka menjadi sombong.

Model Pengkafiran yang Membabi Buta

Mereka telah menuduh mayoritas umat Islam ini kafir. "Sayyidina Ali" yang merupakan menantu Rasulullah, juga dituduh kafir dan harus diperangi.

Padahal semua tahu akan keutamaan "Sayyidina Ali", tetapi mereka tanpa segan menuduh kafir kepada suami Sayyidah Fatimah az-Zahra ini.

Pesan Akhir dan Peringatan Terhadap Pengkafiran

Virus Khawarij terus mengancam umat Islam sampai saat ini. Model pengkafiran yang membabibuta terus disebarkan oleh para pendakwahnya,

yang kemudian disambut oleh para pemuda yang hanya bermodal semangat tinggi namun tidak diimbangi dengan keilmuan memadai serta kepekaan dzauq.

Sehingga meniscayakan munculnya gerakan dan sikap ekstrim, yang pada ujungnya mencederai Islam dan Umat Islam,

'larangan menjatuhkan vonis kufur secara membabi buta' perlu diperdalam lagi oleh sebagian aliran islam garis keras yang merasa paling benar pemahamannya,

dengan harapan tidak akan lagi terulang sejarah perpecahan aliran dalam Islam di masa mendatang.

Sumber : Majalah New Mafahim - Hai'ah Ash-Shofwah Al Malikiyyah
Judul Asli : Akar Sejarah Aliran Sempalan Dalam Islam