Skip to main content

Inilah Cara Niat, Syarat dan Rukun I'tikaf Berdiam Diri Di Masjid

Tata Cara I Tikaf - Salah satu ibadah yang sering dilakukan pada bulan Ramadan adalah itikaf.

Keutamaan bulan ramadhan semua amal dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT, waktu yang sangat dirindukan oleh umat muslim di seluruh dunia.

Bulan Ramadan juga menjadi bulan di mana Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT, pada tanggal 17.

Apa Itu I’tikaf?

Arti dari itikaf secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ‘akafa yang berarti al-hasbu atau memenjarakan.

Dalam konteks agama Islam, itikaf adalah ibadah penyerahan diri kepada Allah dengan cara berdiam diri di dalam masjid

dan menyibukkan diri dengan berbagai bentuk ibadah yang layak dilakukan di dalamnya.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun itikaf di antara para ulama,

secara terminologi itikaf dapat diartikan sebagai berdiam diri di dalam masjid

untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan dengan tata cara tertentu disertai dengan niat.

  1. Itikaf Menurut Bahasa Artinya
  2. Istilah i’tikaf berasal dari kata ‘akafa–ya’kifu–ukufan dalam bahasa Arab, yang memiliki makna "menetap" atau "berdiam diri".

    Apabila kata ini dikaitkan dengan kalimat "an al-amr", maka artinya menjadi "mencegah".

    Sedangkan jika dikaitkan dengan kata "'ala", artinya menjadi "menetapi".

    Pengembangan kalimat ini menjadi istilah i’takafa-ya’takifu-i’tikafan, yang berarti "menetap atau berdiam diri pada suatu tempat".

    Dalam konteks agama Islam, istilah ini kemudian diartikan sebagai ibadah untuk tetap berdiam diri di masjid dan melakukan aktivitas ibadah di dalamnya.

    Oleh karena itu, kalimat "I’takafa fi al-masjid" dapat diartikan sebagai "berdiam diri di masjid" atau "menjalankan i'tikaf di masjid".

  3. Hukum Melakukan Itikaf
  4. Secara prinsip, i'tikaf adalah ibadah yang dianggap sunnah (mustahab) untuk dilaksanakan karena pada dasarnya, i'tikaf tidak diwajibkan.

    Meskipun demikian, status sunnahnya dapat berubah menjadi wajib jika seseorang membuat nazar (janji) untuk melakukan i'tikaf.
    عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
    Dari Ubay bin Ka'ab r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Pernah selama satu tahun beliau tidak beri’tikaf, lalu pada tahun berikutnya beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (Hadis Hasan, riwayat Abu Dawud: 2107, Ibn Majah: 1760, dan Ahmad: 20317).
    I’tikaf dapat dilakukan pada setiap saat, termasuk pada waktu-waktu yang diharamkan untuk shalat.

    Hukum asalnya adalah sunnah, tetapi bisa menjadi wajib jika diniatkan.

    Namun, i’tikaf menjadi haram jika dilakukan oleh seorang istri atau hamba sahaya tanpa izin,

    dan menjadi makruh jika dilakukan oleh perempuan yang berperilaku mencurigakan dan mengundang fitnah meskipun telah disertai izin.

  5. Waktu Pelaksanaan
  6. I'tikaf sangat dianjurkan untuk dilakukan pada setiap waktu di bulan Ramadhan.

    Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai waktu pelaksanaan i'tikaf.

    Beberapa ulama berpendapat bahwa i'tikaf dapat dilakukan dalam beberapa waktu tertentu tanpa batasan lama,

    sementara ulama lainnya berpendapat bahwa i'tikaf minimal dilakukan selama satu malam dan satu hari.

    Dengan mempertimbangkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa i'tikaf dapat dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu,

    seperti satu jam, dua jam, tiga jam, dan seterusnya, serta dapat juga dilaksanakan selama satu hari semalam (24 jam).

  7. Tempat Pelaksanaan
  8. Tidak diragukan lagi bahwa tempat pelaksanaan i'tikaf adalah masjid.

    Namun, masalahnya adalah masjid mana yang dapat digunakan untuk i'tikaf.

    Meskipun Rasulullah SAW melakukan i'tikaf di masjid Nabawi di Madinah,

    namun ada banyak pendapat mengenai masjid mana yang seharusnya digunakan untuk i'tikaf.

    Hal ini disebabkan karena pengertian masjid sebagai tempat i'tikaf yang tercantum dalam Al-Quran

    masih bersifat relatif dan memerlukan interpretasi lebih lanjut dari para ulama.
    وَأنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ
    Sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid (QS Al Baqarah 2: 187)


Pendapat Pertama

Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa i'tikaf hanya dapat dilaksanakan di tiga masjid,

yaitu Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina.

Pendapat ini didasarkan pada hadits yang mengatakan bahwa tidak ada izin untuk berpergian kecuali ke tiga masjid tersebut.

Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.

Pendapat Kedua

Menurut pendapat kedua, i'tikaf harus dilaksanakan di Masjid Jami',

yaitu masjid yang biasanya digunakan untuk menjalankan shalat lima waktu berjamaah dan ibadah Jum'at.

Hal ini dianggap tepat karena Rasulullah SAW sendiri melaksanakan i'tikaf di masjidnya sendiri, yang termasuk dalam kategori Masjid Jami'.

Kesimpulan

Sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 187 menunjukkan bahwa

pengertian masjid yang disebutkan bersifat umum tanpa menyebutkan nama masjid tertentu.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa i'tikaf dapat dilakukan di Masjid Jami' maupun masjid lain seperti musholla.

Namun, sebaiknya i'tikaf Ramadan dilakukan di Masjid Jami'

agar mudah melaksanakan kewajiban shalat Jum'at tanpa perlu meninggalkan tempat i'tikaf.

Bacaan Niat Itikaf Sesuai Dengan Jenisnya

Itikaf adalah ibadah di mana seseorang berdiam di dalam masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ibadah itikaf mirip dengan shalat, di mana seseorang harus berniat untuk melakukan itikaf sejak awal kegiatan ibadah.

Terkait dengan niat i'tikaf, seorang yang berniat harus menyebutkan apakah i'tikaf tersebut fardhu atau tidak,

terutama jika i'tikaf tersebut dinadzarkan. Menurut pendapat yang kuat,

seluruh i'tikaf dianggap fardhu, baik dengan menentukan lamanya atau tidak.

Berikut ini adalah beberapa bacaan lafal itikaf yang dapat dibaca

untuk memantapkan niat dalam bahasa latin dan terjemahan indonesia

  1. Bacaan Niat I’tikaf Mutlak
  2. Dikutip dari Kitab Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj
    نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ مَا دُمْتُ فِيهِ
    Bacaan Latin
    Nawaitu an a‘takifa fī hādzal masjidi mā dumtu fīh.
    Saya berniat itikaf di masjid ini selama saya berada di dalamnya.
    Dikutip dari Kitab Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi
    نَوَيْتُ الاِعْتِكَافَ فِي هذَا المَسْجِدِ لِلّهِ تَعَالى
    Bacaan Latin
    Nawaitul i’tikāfa fī hādzal masjidi lillāhi ta‘ālā.
    Saya berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah SWT
    Dalam i'tikaf mutlak, jika seseorang keluar dari masjid tanpa maksud kembali dan kemudian kembali, ia harus membuat niat baru.

    Dalam hal ini, i'tikaf keduanya dianggap sebagai i'tikaf baru.

    Namun, jika seseorang berniat untuk kembali ke masjid, baik itu masjid semula atau masjid lain,

    maka niat sebelumnya tidak batal dan tidak perlu membuat niat baru.

  3. Bacaan Niat I’tikaf Terikat Waktu Tanpa Terus-menerus
  4. Sedangkan i’tikaf yang terikat waktu, selama satu bulan misalnya, niatnya adalah sebagai berikut:
    نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَوْمًا/لَيْلًا كَامِلًا/شَهْرًا لِلهِ تَعَالَى
    “Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu hari/satu malam penuh/satu bulan karena Allah.”


  5. Bacaan Niat I’tikaf Terikat Waktu dan Terus-menerus
  6. نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا
    “Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut karena Allah.”


  7. Bacaan Niat Niat I'tikaf Karena Nadzar
  8. نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
    “Aku berniat i’tikaf di masjid ini fardhu karena Allah.”


Rukun I'tikaf

Rukun adalah segala sesuatu dalam ibadah yang merupakan bagian tak terpisahkan sehingga harus dilakukan.

Rukun harus dilakukan selama ibadah dan bersifat memaksa.

Karena itu, ibadah itikaf memiliki rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Biasanya, pembahasan mengenai itikaf disampaikan setelah pembahasan mengenai puasa.

Baca: Apa Itu Tadarus Al Quran


Berikut ini adalah beberapa penjelasan dari para ulama mazhab Syafi'i mengenai itikaf.
قوله (وَلَهُ) أَيْ الِاعْتِكَافِ (شَرْطَانِ) أَيْ رُكْنَانِ فَمُرَادُهُ بِالشَّرْطِ مَا لَا بُدَّ مِنْهُ بَلْ أَرْكَانُهُ أَرْبَعَةٌ كَمَا سَتَعْرِفُهُ
“Itikaf memiliki dua syarat, maksudnya dua rukun. Yang dimaksud syarat adalah sesuatu yang harus ada. Bahkan itikaf itu memiliki empat rukun sebagaimana kau akan mengenalnya,”
(As-Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna fi Halli Alfazhi Abi Syuja, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 247).


  1. Niat
  2. Pembacaan niat diperlukan untuk membedakan maksud seseorang ketika berdiam diri di masjid,

    apakah itu untuk ibadah atau melakukan aktivitas lain yang tidak berkaitan dengan itikaf.

    Bagi yang berniat beribadah, harus taat pada rukun dan syarat yang berlaku.

    Niat itu sendiri diletakkan di dalam hati, sama seperti ibadah-ibadah yang lainnya.

    Orang yang bernazar itikaf harus menegaskan kewajibannya pada niat itikafnya,

    karena itikaf yang diwajibkan oleh nazar merupakan itikaf yang wajib.

    Hal ini penting untuk dibedakan dengan itikaf yang hanya disunahkan.

  3. Berdiam Diri (Mukim)
  4. Untuk melaksanakan itikaf, seseorang harus tinggal atau bermukim di tempat itikaf minimal selama tumakninah lebih sedikit.

    Artinya, hanya sekedar berdiam diri di masjid selama tumakninah saja tidak cukup.

    Namun, seseorang yang berkeliling di masjid selama masa itikaf tetapi masih memenuhi durasi itikaf

    dan berniat melakukan itikaf dianggap sudah melaksanakan itikaf.

  5. Di Masjid
  6. Menurut Mazhab Syafi'i, itikaf harus dilakukan di dalam masjid.

    Oleh karena itu, itikaf di tempat selain masjid tidak sah (meskipun sebagian ulama membolehkannya).

    Hal ini didasarkan pada hadis Bukhari, Muslim, ijma, dan Surat Al-Baqarah ayat 187

    yang menyebutkan masjid secara umum tanpa menyebutkan nama masjid tertentu.

    Meskipun begitu, Masjid Jami' dianggap sebagai tempat yang ideal untuk itikaf

    karena dapat menampung banyak jamaah dan tidak perlu keluar untuk shalat Jumat.

  7. Pelaku I'tikaf (Mu'takif)
  8. Seseorang yang melakukan itikaf haruslah seorang muslim yang berakal dan dalam keadaan suci dari hadas besar.

    Oleh karena itu, itikaf yang dilakukan oleh orang kafir, orang yang mengalami gangguan jiwa, dan orang yang dalam keadaan junub tidak sah.
    وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
    “…Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf di dalam masjid…” (Surat Al-Baqarah ayat 187).


Syarat I'tikaf

Berikut adalah syarat-syarat untuk melakukan itikaf yang perlu diperhatikan

  1. Beragama Islam (Muslim)
  2. Tidak Gila (Berakal Sehat)
  3. Suci Dari Hadats Besar


Dalam pelaksanaan itikaf, penting untuk memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Jika seseorang tidak memenuhi syarat tersebut, maka itikaf yang dilakukan dianggap tidak sah.

Itikaf di bulan Ramadan membantu kita untuk introspeksi dan memperbaiki diri.

Dengan beritikaf, kita dapat fokus pada diri sendiri dan menjauhi kesombongan.

Perkara yang Membatalkan I'tikaf

Dalam beri'tikaf, sangat penting untuk mengetahui hal-hal yang dapat membatalkannya,

sehingga dapat dihindari dan i'tikaf dapat dilaksanakan dengan sah sesuai aturan syariat.

  1. Hilang Akal atau Gila
  2. Jika seseorang mengalami gangguan jiwa atau gila, i’tikaf dapat dibatalkan.

    Namun, syaratnya adalah jika gila itu disebabkan oleh kelalaian pelaku seperti sengaja minum obat tertentu.

    Jika tidak ada unsur kelalaian, i’tikaf tetap sah selama pelaku tetap berada di dalam masjid.

    Jika pelaku sembuh dalam waktu singkat, maka ia dapat melanjutkan i’tikaf tanpa harus mengulang niatnya.

  3. Pingsan (Ighma)
  4. Pingsan yang dapat membatalkan i’tikaf adalah jika ada unsur kelalaian dari pelaku seperti konsumsi obat tertentu.

    Namun, jika pingsan tidak disebabkan oleh kelalaian, maka i’tikaf tetap sah dan dapat dilanjutkan setelah sadar kembali.

  5. Mabuk
  6. Jika seseorang mengalami mabuk saat menjalankan i’tikaf, maka i’tikafnya menjadi batal.

    Namun, batalkah i’tikaf tergantung pada apakah ada unsur kesengajaan atau keteledoran dari pelaku.

    Jika ia sengaja mengkonsumsi minuman yang memabukkan, maka i’tikafnya batal.

    Namun, jika ia tidak sengaja mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung alkohol,

    misalnya, dan tidak mengetahui hal itu, maka i’tikafnya tidak batal.

  7. Murtad
  8. Meninggalkan agama Islam atau keluar dari Islam dapat membatalkan i’tikaf.

    Hal ini dapat terjadi jika seseorang melakukan tindakan yang merendahkan, menentang, atau menolak ajaran Islam,

    seperti mempercayai nabi setelah Nabi Muhammad SAW, mempercayai Tuhan dalam tiga wujud (trinitas), dan sebagainya.

  9. Jima (Bersetubuh)
  10. Di dalam masjid, melakukan hubungan badan suami istri atau bersetubuh dapat membatalkan i’tikaf. Meskipun kasus seperti ini jarang terjadi.

  11. Bersentuhan Kulit Dengan Adanya Syahwat
  12. Saat i'tikaf, bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang disertai syahwat hingga terjadi ejakulasi sperma dapat membatalkan i'tikaf.

    Analogi ini diterapkan seperti dalam situasi puasa di mana hubungan suami istri juga dapat membatalkan puasa.

  13. Keluar Dari Masjid Tanpa Ada Kepentingan
  14. Seseorang yang keluar dari masjid tanpa alasan atau kepentingan yang mendesak dapat membatalkan i'tikaf.

    Namun, jika ada kepentingan yang mendesak seperti ingin berwudhu, membuang hajat,

    makan atau minum yang tidak dapat dilakukan di masjid, maka keluarnya tidak membatalkan i'tikaf.
Bila salah satu dari perkara yang disebutkan terjadi pada seseorang yang sedang beri'tikaf, maka i'tikafnya dianggap batal.

Begitu pula jika i'tikaf tersebut terikat dengan waktu yang berturut-turut,

maka batallannya juga menyebabkan kelanggengan i'tikaf itu terputus.

Oleh karena itu, seseorang harus memulainya kembali dari awal,

meskipun i'tikaf yang telah dilakukannya sebelumnya tetap bernilai pahala,

selama yang membatalkannya bukan murtad. Namun, jika i'tikaf tersebut terikat dengan waktu yang tidak berturut-turut,

maka maksud dari kata "batal" di sana adalah waktu yang terputus tidak dihitung sebagai bagian dari i'tikaf.

Jika seseorang memulainya lagi, ia harus memperbaharui niat dan menggabungkannya dengan i'tikaf sebelumnya.

Selain itu, dalam i'tikaf mutlak, maksud dari kata "batal" hanya merujuk pada terputusnya kelangsungan i'tikafnya saja.

Oleh karena itu, i'tikaf tersebut tidak bisa disambungkan dengan i'tikaf sebelumnya atau diperbaharui.

Namun, i'tikaf tersebut tetap dianggap sah dan berdiri sendiri.

3 Keutamaan Beri'tikaf



  1. Bagaikan I'tikaf Bersama Rasul
  2. Saat bulan Ramadhan, i'tikaf lebih dianjurkan terutama di sepuluh malam terakhir karena keutamaannya yang besar.

    I'tikaf sendiri merupakan amalan sunnah yang dapat dilakukan kapan saja.

    Namun, meraih keutamaan Lailatul Qadar adalah salah satu alasan mengapa i'tikaf di bulan Ramadhan sangat dianjurkan.

    Bahkan, dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. menyatakan bahwa

    i'tikaf di sepuluh malam terakhir bagaikan beri'tikaf bersama beliau.
    مَنِ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
    “Siapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaflah pada sepuluh malam terakhir,” (HR Ibnu Hibban).


  3. Setiap Saat Mendapat Pahala
  4. Istilah i’tikaf merujuk pada kegiatan berdiam diri di masjid dengan niat tertentu.

    Tujuannya adalah untuk beribadah kepada Allah, terutama ibadah yang biasa dilakukan di masjid.

    Selain itu, seseorang dapat menambahkan beberapa niat untuk meraih keutamaan yang lebih besar,

    seperti mengunjungi dan menghormati masjid sebagai rumah Allah, berzikir dan mendekatkan diri kepada-Nya,

    berharap rahmat dan rida-Nya, melakukan muhasabah, mengingat hari akhir, mendengarkan nasihat dan mempelajari ilmu agama,

    bergaul dengan orang-orang saleh dan cinta kepada-Nya, memutuskan segala yang dapat melupakan akhirat, dan sebagainya.

  5. Termasuk Salah Satu Cara Meraih Lailatur Qadar
  6. Melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sangat dianjurkan,

    karena merupakan waktu yang lebih utama dibandingkan dengan waktu-waktu yang lain,

    untuk meraih keutamaan Lailatul Qadar yang waktu pastinya dirahasiakan oleh Allah.

    Oleh karena itu, kita harus selalu mengisi malam-malam Ramadhan

    dengan amalan-amalan baik, baik yang wajib maupun sunnah, agar tidak kehilangan kesempatan tersebut.


Perkara yang Boleh Dilakukan Selama Melakukan I'tikaf

Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di dalam masjid dan tidak keluar dari masjid kecuali ada alasan yang dibenarkan.

Beberapa alasan yang dibenarkan untuk mu’takif (orang yang melaksanakan i’tikaf) keluar dari masjid antara lain:

  1. ’Udzrin Syar’iyyin
  2. Karena alasan syar'i contoh seperti melaksanakan shalat Jum'at

  3. Hajah Thabi’iyyah
  4. Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di dalam masjid dan tidak keluar dari masjid

    kecuali karena keperluan yang dibenarkan, seperti keperluan hajat manusia (hajah thabi’iyyah)

    yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi junub, dan lainnya.

  5. Kondisi Darurat
  6. Karena suatu keadaan darurat yang sangat penting, seperti saat bangunan masjid mengalami keruntuhan dan sebagainya.


Amalan yang Dianjurkan Ketika Ibadah I'tikaf Di 10 Hari Terakhir Ramadan

Agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka seseorang yang sedang menjalankan i'tikaf sebaiknya memperbanyak amal ibadah.

Selain itu, sebaiknya juga menghindari segala hal yang tidak bermanfaat, baik dalam perbuatan maupun ucapan.
مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ
"Di antara kebaikan seorang Islam adalah, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmitzi dan Ibnu Majah, dari Abu Bashrah)
Dalam konteks i'tikaf, salah satu hal yang dihindari adalah melakukan kegiatan yang tidak bermanfaat atau tidak produktif.

Oleh karena itu, sebaiknya tidak hanya berdiam diri dengan tidak melakukan apa-apa,

melainkan memanfaatkan waktu dengan melakukan kegiatan yang bernilai ibadah, seperti berikut ini:

  1. Melaksanakan Sholat 5 Waktu Secara Berjama'ah
  2. Memperbanyak salat sunnah seperti shalat dluha, qobliyah, ba'diyah, tasbih, terutama di malam hari, qiyamul lail seperti shalat tarawih, witir dan tahajjud
  3. Memperbanyak membaca Al-quran dan tadarus Al-quran
  4. Memperbanyak dzikir seperti membaca sholawat nabi, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar
  5. Memperbanyak Do'a dan Tafakkur
  6. Memperdalam wawasan islam dengan mempelajari kitab tafsir, hadits, fiqh, tasawuf dan ilmu-ilmu agama islam lainnya


Bolehkah I'tikaf Dilaksanakan Setiap Saat?

Terdapat berbagai keterangan hadits yang menyatakan bahwa i'tikaf dilaksanakan oleh Rasulullah SAW hanya pada bulan Ramadhan.

Namun, dalam beberapa hadits juga disebutkan bahwa i'tikaf pernah dilakukan oleh Nabi pada 10 hari pertama bulan Syawal

sebagai pengganti i'tikaf Ramadhan yang gagal karena satu dan lain hal.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa i'tikaf tidak disunnatkan secara mutlak

sebagai suatu bentuk ibadah yang dapat dilaksanakan setiap saat,

namun menurut pendapat lain, i'tikaf merupakan suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT yang dapat dilaksanakan setiap waktu

jika kita kehendaki. Hal ini terlihat dari perintah Rasulullah SAW kepada 'Umar bin Khattab untuk memenuhi nadzar i'tikafnya,

yang menunjukkan bahwa i'tikaf merupakan ibadah yang dapat dilaksanakan setiap saat jika termasuk sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Sumber: NU Online

Bolehkah I'tikaf Dilaksanakan Dirumah Selama Ramadhan?

Tindakan pencegahan yang hati-hati dalam menghadapi bulan suci Ramadhan selama pandemi Covid-19

adalah dengan memprioritaskan beribadah di rumah daripada di masjid,

terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah zona merah Covid-19,

seperti yang disarankan oleh para ulama dan pemerintah.

Meskipun beribadah di masjid memiliki nilai simbolis yang lebih besar dan menjanjikan pahala,

akan menjadi bencana jika menyebabkan penyebaran penyakit dan jelas bertentangan dengan agama Islam.

Terdapat suatu ibadah khusus yang hanya dapat dilaksanakan di masjid yaitu i'tikaf.

I'tikaf biasanya dilaksanakan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan guna meraih malam lailatul qadar,

namun mayoritas ulama sepakat bahwa i'tikaf hanya dapat dilakukan di masjid.

Namun pada kondisi saat ini yang menghadapi pandemi Covid-19,

kita perlu memprioritaskan keselamatan diri dan masyarakat dengan melakukan i'tikaf di ruangan khusus shalat di rumah,

yang disebut dengan "masjid al-bait" atau pasalatan.

Hal ini menjadi alternatif untuk menggantikan i'tikaf di masjid yang dapat menimbulkan risiko penyebaran virus.

Menurut pandangan Imam Abu Hanifah dan qaul qadim Imam Syafi'i,

wanita diperbolehkan dan sah melaksanakan i'tikaf di ruangan dalam rumah yang dikhususkan untuk shalat.

Sedangkan sebagian ulama mazhab Syafi'i menyatakan bahwa laki-laki juga diperbolehkan dan sah melakukan i'tikaf di rumah

dengan mengikuti nalar "jika shalat sunnah saja yang paling utama dilakukan di rumah, maka i'tikaf di rumah semestinya bisa dilakukan".

Hal ini ditegaskan oleh Imam Ar-Rafi'i.
ولو اعتكفت المرأة في مسجد بيتها وهو المعتزل المهيأ للصلاة هل يصح فيه قولان (الجديد) وبه قال مالك وأحمد لا لان ذلك الموضع ليس بمسجد في الحقيقة فأشبه سائر المواضع ويدل عليه ان نساء النبي صلى الله عليه وسلم كن يعتكفن في المسجد ولو جاز اعتكافهن في البيوت لاشبه ان يلازمنها (والقديم) وبه قال ابو حنيفة نعم لانه مكان صلاتها كما ان المسجد مكان صلاة الرجل وعلي هذا ففى جواز الاعتكاف فيه للرجل وجهان وهو اولي بالمنع ووجه الجواز ان نفل الرجل في البيت افضل والاعتكاف ملحق بالنوافل
“Wanita melaksanakan i’tikaf di masjid rumahnya, maksudnya adalah ruangan tempat menyendiri (di rumah) yang diperuntukkan untuk shalat, apakah hal tersebut sah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat . Qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), Imam Malik dan Imam Ahmad berpandangan tidak sah, sebab tempat tersebut bukanlah masjid secara hakiki, karena tak ubahnya seperti tempat-tempat lainnya. Pendapat ini juga didasari dalil bahwa para istri Rasulullah melaksanakan i’tikaf di masjid. Kalau saja boleh beri’tikaf di rumah, niscaya mereka menetapkannya. Qaul qadim dan Abu Hanifah berpendapat boleh i’tikaf di rumah (ruangan yang dikhususkan shalat), sebab tempat tersebut merupakan tempat shalat bagi wanita, seperti halnya masjid merupakan tempat shalat bagi laki-laki. Berdasarkan pandangan ini, maka dalam bolehnya i’tikaf di rumah bagi laki-laki juga terdapat dua pendapat, meskipun lebih utama bagi laki-laki untuk tidak i’tikaf di tempat tersebut. Dalil bolehnya i’tikaf di rumah bagi laki-laki adalah pemahaman bahwa shalat sunnah bagi laki-laki yang paling utama adalah dilaksanakan di rumah, maka ibadah i’tikaf mestinya sama dengan ibadah shalat sunnah” (Syekh Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i, al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, huz 6, hal. 503).
Namun, dalam keadaan normal, disarankan agar i’tikaf tetap dilaksanakan di masjid sesuai dengan pandangan mayoritas ulama Mazhab Empat (Madzahib al-Arba’ah)

agar ibadah dapat lebih sempurna dan mendapatkan fadilah yang terkait dengan tempat ibadah.

Kita berdoa agar Allah segera mengangkat wabah ini dari Indonesia dan dunia secara umum,

serta agar ibadah kita senantiasa diberi keistiqamahan dan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amin ya rabbal ‘alamin.

Apakah I'tikaf Wanita Harus Di Masjid?

Menurut hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang disampaikan oleh Sayyidatina Aisyah RA,

baik lelaki maupun perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama

untuk melakukan ibadah i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
وَعَنْهَا: - أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW beritikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Aktivitas itu dilakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti itikaf pada waktu tersebut sepeninggal Rasulullah SAW,” (HR Bukhari dan Muslim).


Pendapat Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah mengemukakan bahwa perempuan dapat menggunakan mushala rumah yang biasa digunakan untuk shalat di rumahnya.
وعند أبي حنيفة إنما يصح اعتكاف المرأة في مسجد بيتها وهو الموضع المهيأ في بيتها لصلاتها
“Menurut Abu Hanifah, itikaf perempuan sah di masjid di dalam rumahnya, yaitu sebuah lokasi di dalam rumahnya yang disediakan untuk aktivitas shalatnya,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 340).


Pendapat Syekh Wahbah Az-Zuhayli

Syekh Wahbah Az-Zuhayli menyarankan agar perempuan yang ingin melakukan i'tikaf di masjid

untuk ditempatkan di belakang tirai yang menjadi penanda tempat shalat perempuan di dalam masjid.
وإذا اعتكفت المرأة في المسجد، استحب لها أن تستتر بشيء؛ لأن أزواج النبي صلّى الله عليه وسلم لما أردن الاعتكاف أمرن بأبنيتهن، فضربن في المسجد، ولأن المسجد يحضره الرجال، وخير لهم وللنساء ألا يرونهن ولا يرينهم
“Jika seorang perempuan beritikaf di masjid, ia dianjurkan untuk menutup diri dengan tirai karena para istri Nabi Muhammad SAW ketika ingin beritikaf diperintah untuk di bangunan mereka. Mereka membangunnya di dalam masjid. Pasalnya, masjid juga dihadiri oleh pria bukan mahram. Alangkah baiknya bagi mereka dan para pria bukan mahram untuk tidak saling memandang,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 696-697).