Skip to main content

Sejarah Hukuman Mati dan Perdebatannya di Indonesia

hukuman tersadis tembak mati
Hukuman mati bali nine narkoba - Diskursus hukuman mati selalu mengundang perdebatan di kalangan masyarakat, baik akademisi, agamaan, atau orang awam sekalipun.

Terutama di Indonesia sendiri sekarang sedang hangat diperbincangkan bersamaan dengan mencuatnya eksekusi terpidana mati gembong narkoba dan kasus Balin Nine.

Namun, sejatinya sejarah hukuman mati telah ada sejak dahulu kala. Tercatat perundang-undangan hukuman mati telah ditemukan di era Babilonia kuno dalam Code of Hammurabi pada 1750 SM

Seiring berkembangnya peradaban umat manusia perundangan hukum mati diterapkan di beberapa negara dengan tujuan untuk mengontrol kehidupan sosial masyarakat, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana tertentu.

Pandangan Internasional tentang Hukuman Mati

Bahkan Amerika Serikat, negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), memberlakukan hukum mati di lebih dari dua per tiga negara bagiannya.

Namun negara-negara Uni Eropa berdiri di sisi lain, yakni dengan menolak hukuman mati di lebih dari dua per tiga negara bagiannya.

Hukuman Mati di Indonesia dan Hubungannya dengan Kasus Narkoba

Indonesia memiliki sejarah cukup panjang dalam pemberlakuan hukum mati sejak jaman kolonial Belanda.

Meskipun dalam amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 281 ayat 1, berbunyi,

"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,"


tapi peraturan perundang-undangan setelahnya tetap memberlakukan hukum mati.

Tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM.

Kemudian diperpanjang dengan RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Pandangan dan Kontroversi Terkait Hukuman Mati

Beberapa studi ilmiah telah dilakukan untuk mengkaji seberapa efektif hukuman mati untuk menekan pengingkatan tindak kriminalitas masyarakat.

Sebagai contoh, dua survey empiris yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 gagal menunjukkan bahwa hukuman mati bisa mencegah seorang kriminal untuk membunuh.

Lebih lanjut, penelitian itu menjabarkan bahwa tindak kriminalitas jamak disebabkan oleh kemiskinan dan tindak kesejahteraan masyarakat.

Maka dari itu, PBB mengharamkan hukum mati dalam perundang-undangan internasionalnya.

Namun, tidak semua negara merespon positif posisi PBB dalam memandang hukuman mati.

Ada yang mengamini namun tidak sedikit juga yang menolak mentah-mentah.

Di antara jajaran yang mendukung sikap PBB adalah negara-negara Uni Eropa, Rusia, dan 118 negara lain.

Di sisi lain, ada 68 negara yang masih menjadikan hukuman mati sebagai ancaman bagi tindak pidana luar biasa seperti pembunuhan berencana, pengedar narkoba, dan terorisme.

Di antara negara-negara itu, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat yang memberlakukan hukum mati.

Kritik dan Penolakan terhadap Hukuman Mati di Indonesia

Indonesia dikecam keras oleh negara-negara yang warganya masuk daftar eksekusi mati.

Brazil sampai 'mengusir' toto Riyanto, duta besar Indonesia untuk Brazil karena Indonesia tidak mau juga menerima grasi dan menghukum mati beberapa warga Brazil.

Namun dengan semua tekanan ini harusnya Indonesia bisa mempertahankan harga dirinya untuk tidak didikte oleh negara lain.

Negara-negara lain harus menghormati hukum yang berlaku di Indonesia dan seharusnya tidak mengintervensi, apalagi dengan cara membela terpidana narkoba.

Kesimpulan

Walau negara-negara yang menentang hukuman mati berargumen dengan hak asasi manusia sebagai pertimbangan utama, Indonesia sejatinya sangat menjunjung tinggi hak hidup seseorang.

Dengan memberlakukan hukuman mati terhadap pengedar narkoba yang mematikan, Indonesia ingin melindungi hak hidup manusia secara lebih luas.

Oleh karena itu, hak asasi manusia tidak hanya harus dilihat dari perspektif pelaku, tetapi juga dari perspektif korban.