Skip to main content

Nishfu Sya'ban dan Toleransi Ummat Islam: Menghargai Perbedaan Pendapat Antar Ulama



Kontroversi Fatwa Lajnah Da'imah tentang Nishfu Sya'ban

Nishfu Syaban dan Tolerasnsi Ummat Islam - Dengan mengutip Fatawa Lajnah Da'imah 4/277, fantwa no. 884 salah satu media online memuat artikel yang memvonis

bahwa hadits tentang fadhilah atau keutamaan menghidupkan malam Nishfu Syaban dan berpuasa di siang harinya tidaklah sah dan tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi)

Para ulama menyatakan hal itu sebagai amalan bid'ah dalam agama.

Demikianlah kesimpulan akhir artikel tersebut yang jika dibaca oleh masyarakat yang biasa menghidupkan malam nishfu sya'ban,

akan membuat mereka ragu karena aktivitas yang telah berlangsung lama dilakukan mereka ini dikategorikan amalan bid'ah yang berarti sesat sesuai fatwa tersebut

Pandangan di atas sesungguhnya adalah salah satu bentuk klaim kebenaran sepihak yang menafikan fakta adanya perbedaan pendapat ulama dalam masalah tersebut.

Pendapat Abuya Sayyid Muhammad Bin Alawi

dalam hal ini, Imam Ahlussunnah Waljamaah Abad 21 Abuya Sayyid Muhammad Bin Alawi mengutip pendapat Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali yang menyatakan bahwa

Baca Juga: Sanad Keilmuan Dalam Islam


para tabi'in dari Syam seperti Khalid bin Mi'dan, Makhul, Luqman bin 'Amir dan yang lain mengagungkan malam nishfu Sya'ban serta bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam tersebut.

Dari para tabi'in ini, kaum muslimin mengambil pendapat tentang ketuamaan malam nishfu Sya'ban dan pengagungan terhadapnya.

Perbedaan Pendapat Ulama dalam Sejarah

Ada juga versi yang menyebutkan bahwa para tabi'in tersebut mendapat informasi-informasi israiliyyah menyangkut keutamaan malam nishfu Sya'ban.

Dan tatkala informasi ini menjadi populer di berbagai daerah maka sikap para ulama terbelah.

Ada yang dan ada yang kontra. Kalangan yang pro diantaranya adalah para ahli ibadah dari Bashrah dan daerah lain

Sikap Para Ulama dan Fatwa Lajnah Da'imah

Sedang yang kontra adalah mayoritas ulama yang tinggal di Hijaz seperti Atha' dan Ibnu Mulaikah.

Para fuqaha' Madinah juga mengambil sikap serupa sebagaimana para mudid Imam Malik dan yang lain.

Mereka berpendapat bahwa mengagungkan malam nishfu Sya'ban dalah tindakan bid'ah.

Menyangkut Hadits yang menjelaskan keutamaan nishfu syaban sangat banyak jumlahnya.

Mayoritas imam hadits menilai hadits-hadits terkait keutamaan Sya'ban tersebut adalah lemah sedang Ibnu Hibban menilai sebagiannya shahih

Namun meskipun demikian telah menjadi kesepakatan ulama bahwa mempraktekkan hadits yang berstatus lemah diperkenankan

dalam masalah Fadhailul A'mal atau aktifitas-aktifitas yang bernilai utama.

Hadits Riwayat Thabrani dan Realitas Obyektif

Salah satunya adalah hadits riwayat At Thabrani dan Ibnu Hibban dari Mu'adz bin jabal yang artinya,
"Pada malam nishfu Sya'ban Allah melihat semua makhluk-Nya. Lalu Allah mengampuni mereka semua kecuali orang musyrik dan orang munafiq yang mendorong perpecahan dan menyalakan api permusuhan"


Demikianlah realitas obyektif perbedaan padnangan ulama tentang nishfu Sya'ban yang tidak diakomodasi oleh fatwa lajnah Daimah.

Sikap Abuya Sayyid Muhammad Bin Alawi

Karena itu sungguh tepat sikap Abuya Sayyid Muhyammad yang menegaskan bahwa beliau menghormati pandangan kalangan yang kontra sepanjang mereka berusaha mengejar kebaikan dan berusaha keras meraihnya

Tantangan Masyarakat dalam Menilai Kebenaran

Namun musibah terbesar adalah tatkala kalangan yang kontra ini menutupi fakta obyektif kepada masyarakat terkait silang pendapat menyangkut pengagungan malam nishfu Sya'ban ini.

Mereka hanya mengungkapkan argumentasi yang mendukung pendapat mereka dan menyingkirkan argument yang bersebrangan.

Sikap sperti ini akan menimbulkan kesan dalam masyarakat bahwa pendapat yang benar adalah pendapat kalangan yang kontra.

Pendapat lain akan divonis sesat atau kebohongan

Obyektifitas Ibnu Rajab dalam Menanggapi Perbedaan Pendapat

Mereka yang tidak setuju dengan pengagungan malam nishfu Sya'ban semestinya meniru obyektifitas Ibnu Rajab yang terlebih dahulu menyebutkan

bahwa para ulama berbeda pendapat menyangkut masalah ini kemudian beliau memaparkan perbedaan para ulama Syam menyangkut model menghidupkan malam nishfu sya'ban dalam 2 pendapat
  1. Disunnahkan menghidupkannya secara berjamaah di masjid, dan
  2. Makruh menghidupkannya secara berjamaah di masjid dan tidak makruh jika seseorang menghidupkannya dengan melakukan sholat sendirian di masjid


Toleransi dan Keharmonisan dalam Komunitas Muslim

Selanjutnya Ibnu Rajab menguatkan dan menshahihkan pendapat yang diyakininya lalu mengatakan bahwa model keuda adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran

Semestinya kalangan yang mengingkari kesunnahan menghidupkan malam nishfu Sya'ban meniru metode Ibnu Rajab yang luhur, rasional dan tidak menyerang ilmu, ulama

dan mereka yang mengamalkan keutamaan-keutamaan malam nishfu Sya'ban tersebut.

Dengan demikian akan tumbuh toleransi dan keharmonisan di tengah komunitas muslim

WallahuA'lam (Sumber Madza fi Sya'ban karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al maliki)
Judul Artikel: Nishfu Sya'ban dan Toleransi Ummat Islam: Menghargai Perbedaan Pendapat Antar Ulama